Sabtu, 22 November 2014

MELUKIS KEHIDUPAN

Menapaki jalan hidup kadang seperti menggoreskan koas pada sebuah bahan lukisan. Mulus tidaknya goresan sangat bergantung pada jiwa sang pelukis. Jangan biarkan jiwa kering dan gersang. Karena lukisan hanya akan berbentuk benang kusut.
Bayangkan saat diri tertimpa musibah. Ada reaksi yang bergulir dalam tubuh. Tiba-tiba, batin diselimuti khawatir akibat rasa takut, tidak aman, cemas dan ledakan perasaan yang berlebihan. Tubuh menjadi tidak seimbang. Muncullah berbagai reaksi biokimia tubuh: kadar adrenalin dalam darah meningkat, penggunaan energi tubuh mencapai titik tertinggi; gula, kolesterol, dan asam-asam lemak ikut tersalur dalam aliran darah. Tekanan darah pun meningkat. Denyutnya mengalami percepatan. Saat glukosa tersalurkan ke otak, kadar kolesterol naik. Setelah itu, otak pun meningkatkan produksi hormon kortisol dalam tubuh. Dan, kekebalan tubuh pun melemah.



Peningkatan kadar kortisol dalam rentang waktu lama memunculkan gangguan-gangguan tubuh. Ada diabetes, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kanker, luka pada dinding saluran pencernaan, gangguan pernafasan, dan terbunuhnya sel-sel otak.

Nalar pun menjadi tidak sehat. Tidak heran jika orang bisa melakukan sesuatu yang tidak wajar. Di antaranya, bunuh diri, marah yang tak terkendali, tertawa dan menangis yang berlebihan, serta berbagai pelarian lain: penggunaan narkoba dan frustasi yang berlarut-larut.

Kenapa hal tak enak itu bisa mulus bergulir pada diri manusia. Mungkin itu bisa dibilang normal, sebagai respon spontan dari kecenderungan kuat ingin merasakan hidup tanpa gangguan. Tanpa halangan. Tak boleh ada angin yang bertiup kencang. Tak boleh ada duri yang menusuk tubuh. Bahkan kalau bisa, tak boleh ada sakit dan kematian buat selamanya.

Ada beberapa hal kenapa kecenderungan itu mengungkung manusia. Pertama, salah paham soal makna hidup. Kalau hati tak lagi mampu melihat secara jernih arti hidup, orang akan punya penafsiran sendiri. Misalnya, hidup adalah upaya mencapai kepuasan. Lahir dan batin. Padahal kepuasan tidak akan cocok dengan ketidaknyamanan, gangguan, dan kesulitan.

Hal itulah yang bisa menghalangi seorang mukmin untuk berjihad. Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (At-Taubah: 38)

Kedua, kurang paham kalau keimanan selalu disegarkan dengan cobaan. Inilah yang sulit terpahami. Secara teori mungkin orang akan tahu dan mungkin hafal. Tapi ketika cobaan sebagai sebuah kenyataan, reaksi akan lain. Iman menjadi cuma sekadar tempelan.

Firman Allah swt., “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui  orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut: 2-3)

     Saad bin Abi Waqqash pernah bertanya pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, siapa yang paling berat ujian dan cobaannya?” Beliau saw. menjawab, “Para nabi kemudian yang menyerupai mereka dan yang menyerupai mereka. Seseorang diuji menurut kadar agamanya. Kalau agamanya lemah dia diuji sesuai dengan itu (ringan) dan bila imannya kokoh dia diuji sesuai itu (keras). Seorang diuji terus-menerus sehingga dia berjalan di muka bumi bersih dari dosa-dosa.” (Al-Bukhari)

    Kalau ada anggapan, dengan keimanan hidup bisa mulus tanpa mengalami kesusahan dan bencana. Itu salah besar. Justru, semakin tinggi nilai keimanan seseorang, akan semakin berat cobaan yang Allah berikan. Persis seperti emas yang diolah pengrajin hiasan. Kian tinggi nilai hiasan, kian keras emas dibakar, ditempa, dan dibentuk.

     Memang, hakikat hidup jauh dari yang diinginkan umumnya manusia. Hidup adalah sisi lain dari sebuah pendakian gunung yang tinggi, terjal, dan dikelilingi jurang. Selalu saja, hidup akan menawarkan pilihan-pilihan sulit. Di depan mata ada hujan dan badai, sementara di belakang terhampar jurang yang dalam.

     Maha Benar Allah dalam firman-Nya. “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?” (Al-Balad: 10-11)

    Kesiapan diri tentang jalan hidup yang tak mulus itu mesti ada. Harus terus segar dalam jiwa seorang hamba Allah. Perhatikanlah senyum-senyum para generasi terbaik yang pernah dilukis umat ini. Di antara mereka ada Bilal bin Rabah. Ada Amar bin Yasir.

    Masih banyak mereka yang terus tersenyum dalam menapaki pilihan hidup yang teramat sulit. Tanpa sedikit pun ada cemas, gelisah, dan penyesalan. Mereka telah melukis hiasan termahal dalam hidup dengan tinta darah dan air mata.

Kenapa Sih Harus Pacaran ?

pacaran:
kenapa sih harus pacaran?
-ada yang bilang, punya pacar perlu biar ada yang merhatiin.. 
itu ortu selama ini ngurusin dianggap apa ya
-ada juga yang bilang, # pacaran biar ada yang anterin ke sana kemari..
hihihi ini pacar apa tukang ojek
-buat yang alasan # pacaran biar semangat belajar..
menurut saya ini nggak adil banget untuk ortu kalian. kenapa?
berapa lama sih kenal pacar? apa yang aja yang sudah diberikan dia? bandingkan dengan kebersamaan dan apa yang sudah diberikan ortumu.
kebersamaan dengan ortu dan begitu banyak yang sudah mereka berikan. kenapa ortu nggak cukup menjadi motivasi belajar?
-atau pacaran perlu biar nggak seperti beli kucing dalam karung. kenyataannya, lama # pacaran nggak menjamin langgeng pernikahan.
-ada remaja yang jawab pas ditanya kenapa # pacaran.
mumpung ada yang mau, Mbak
-atau # pacaran karena gengsi. yang lain sudah punya pacar kok saya belum.
kesannya nggak laku
-satu hal, kualitas dirimu tidak ditentukan oleh apakah kamu punya pacar atau tidak.
-punya pacar itu ada resikonya... mood naik turun. kalau pacar nggak perhatian, nggak cantumin status relationship di FB or twitter
-resiko lain dari # pacaran siap-siap patah hati...
serius!
-jadi jangan # pacaran kalau nggak mau sakit hati, buang-buang waktu, air mata dan energi.
-# pacaran nggak mendekatkan ke pintu surga
-manfaatkan usia muda bukan untuk # pacaran dan galau . tapi gali potensi untuk berprestasi dan mewujudkan mimpi diri dan orang tua.
-terbukti: pada akhirnya cinta kasih ortu dan keluarga yang paling tulus. kenapa harus mencari yang belum tentu murni?
-buat dirimu berharga, jadi muslim dan muslimah yang multi fungsi, berdaya bagi keluarga, bangsa dan umat. waktu nggak terbuang untuk # pacaran.
-gunakan masa sebelum nikah untuk memperbaiki kualitas diri di hadapan-Nya. ingat, laki-laki baik untuk perempuan yang baik. bisa tanpa # pacaran.
-lalu benarkah # pacaran nggak ada positifnya sama sekali? well, layakkah menempuh hal yang dilarang-Nya dengan alasan apapun?

*dikutip dari Buku Twitografi Asma Nadia. semoga bermanfaat

Jumat, 02 Mei 2014

Think before you judge someone or something.

Apa salah satu hal yang mungkin kita tahu tidak baik untuk dilakukan tapi tetap saja dilakukan karena rasa penasaran yang tinggi? Membicarakan hal yang tidak ada sangkutannya dengan diri kita sama sekali. Hal tersebut adalah hal yang bisa dikatakan sangat susah untuk dihindari karena kita selalu kepo. Dan ketika kita sudah mengetahui semuanya, kita langsung men-judge sesuatu. Padahal itu adalah bukan hal yang baik.
Lalu apa yang kita rasakan setelah men-judge orang? Senangkah? Biasa sajakah? Atau mungkin merasa kita perlu "habisi" orang itu dengan segala suatu yang ada di pikiran kita mengenai orang tersebut?
Sok alim? Tidak. Sok merasa benar? Tidak juga. Lalu kenapa saya menulis hal-hal seperti diatas? Saya menulis seperti ini karena saya juga menjadi salah satu bagian dari orang-orang tersebut. Sangat mudah untuk kita semua men-judge sesuatu berdasarkan penglihatan kita tanpa mengetahui ini itunya terlebih dahulu. Tapi dengan kita men-judge orang seperti itu, apakah diri kita sudah yang paling benar?
Asumsi yang kita punya terhadap orang lain bukan berarti yang paling benar. Bagaimana kalau ternyata asumsi kita salah? Bagaimana kalau ternyata semuanya jauh berbeda dari apa yang kita pikir tadinya seperti itu? Bagaimana kalau kita merasakan apa yang dirasakan oleh orang tersebut? Apakah baru akan meminta maaf ketika semua asumsi itu terpatahkan? Bukankah alangkah lebih baik jika kita melakukan sebaliknya? Dalam arti kata, berpikir lagi sebelum mengeluarkan asumsi kita seenaknya. Susah memang, saya juga sangat memahami itu. Tapi tidak ada salahnya mencoba.
Banyak sekali perkataan dan juga perbuatan saya yang mungkin menyakiti hati orang lain dan itu termasuk pula ketika saya men-judge orang dengan seenaknya saja. Meminta maaf memang mudah, tapi bagaimana dengan rasa bersalah? Masa iya kita mau terus menerus terlambat menyadari dan menyesalinya? Karena, pasti ada titik dimana kita tidak akan peduli dengan segala perkataan dan juga tulisan yang terkesan klise, namun, akan ada saatnya pula dimana kita menyadari bahwa semua yang terkesan klise itulah justru yang seharusnya ditanamkan sejak awal.
Saya menulis seperti ini, karena saya tidak ingin kita semua terlambat menyadari. Memang tidak ada kata terlambat karena semua membutuhkan proses. Tetapi dalam proses itu, dibutuhkannya kesadaran terlebih dahulu. Kalau kita merasa sudah sadar, kita tidak akan mengulangi yang jelek-jelek tentunya. Ini semua tidak hanya berlaku didalam perkataan dan perbuatan, tetapi juga dengan segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan kita seperti Internet (Social Media), lingkungan sekolah, kerja, keluarga, dan masih banyak lagi. Kita sibuk membuka membuka kejelekan dan membicarakan orang lain, tetapi kita juga lupa dengan kejelekan diri kita sendiri..
Tulisan ini bukanlah untuk mengatakan bahwa saya paling benar karena memang tidak, tetapi itulah yang saya rasakan dan pikirkan. Ketika saya sudah menyadarinya, kenapa saya tidak coba berbagi dengan yang lain? Think before you judge someone or something. Itu kalimat yang mungkin sangat mewakili semua yang saya tulis ini. Anda pasti sudah mendengarnya ribuan kali, tapi berapa kali anda pernah melakukan hal tersebut? Benarkan diri anda terlebih dahulu, barulah kita bisa membenarkan hidup orang lain.
Saya tidak sempurna, dan tidak akan pernah sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Tetapi yang perlu dilakukan oleh kita semua adalah belajar. Belajar untuk menjadi lebih baik, dan salah satunya adalah merubah hal-hal kecil (yang mungkin untuk sebagian orang tidak penting) menjadi lebih baik. Seperti contoh, tidak mengurusi hal yang tidak ada urusannya dengan dirinya. Insya Allah kita bisa menjadi orang tersebut..
Kata-kata diatas mungkin bisa dipikirkan lebih jauh dan menjadi pilar dalam menyusun kata-kata, pikiran, dan perbuatan. Berusahalah untuk menjadi contoh untuk orang-orang. Jangan hiraukan ketika mereka tetap melakukan hal yang tidak baik, karena kalau kita berniat untuk berubah, tidak perlu menunggu teman. Ubahlah semuanya sendiri, dengan tujuan dan keyakinan bahwa itu semua menuju yang lebih baik.. Jangan mengira bahwa hal-hal kecil tidak ada pengaruhnya untuk kehidupan... :)

Love, Lhy_Bob

Recreated AS.

Rabu, 08 Januari 2014

BUKU

Kata-kata hanyalah api yang dilukiskan, yang terlihat justru api itu sendiri. (Mark Twain, "A Connecticut Yankee in King Arthur's Court")

Kabar buruk pagi ini: kebakaran di Gedung C FISIP UI juga memusnahkan sekitar 3 ribu koleksi buku.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Arie Susilo, Dekan FISIP Universitas Indonesia: "Bagi kami dari kalangan akademisi, yang paling kami sayangkan adalah koleksi 3000 buku yang merupakan koleksi dari Iwan Gardono Sujatmiko (Sosiolog UI). Harganya tak ternilai."

Ini kabar buruk kedua bagi para pecinta buku. Pada 5 Januari, sebuah perpustakaan di Beirut (Lebanon) yang penuh dengan buku-buku bersejarah dibakar sampai musnah. 78 ribu buku dibikin musnah menjadi abu oleh para pemarah yang terbakar emosinya karena mendengar kabar ada sebuah pamflet yang menghina Nabi Muhammad terselip di salah satu buku koleksi perpustakaan.

Tapi apa boleh bikin? Siapa yang bisa melawan api jika sudah mengamuk? Api memang musuh abadi buku. Bersama rayap dan kutu, api sudah terbukti menjadi pemusnah buku yang paling efektif dalam sejarah peradaban manusia.

Api yang dinyalakan para biblioklas sudah menghancurkan jutaan buku dengan berbagai bentuknya. Dalam istilahnya Fernando Beaz, kaum biblioklas sebenarnya adalah orang-orang yang cerdas, berbudaya dan berpendidikan. Hanya saja selain berpendidikan, tulis Baez dalm buku "Penghancuran Buku dari Masa ke Masa", mereka juga orang yang "cenderung depresif, tidak mampu menolerir kritik, egois, mitomania, dan cenderung dalam lembaga yang mewakili kekuatan yang berkuasa dengan fanatisme berlebihan pada agama atau paham tertentu".

Air memang bisa menghentikan api. Tapi air adalah musuh buku lainnya lagi. Jika buku-buku sudah bersentuhan dengan air, kehancurannya hanya tinggal menunggu waktu.

Dan air memang pernah menjadi mesin penghancur buku yang mengerikan. Saat pasukan Mongol merebut Baghdad, mereka tak hanya menghancurkan kota, tapi juga memusnahkan perpustakaan agung Bait al Hikmah (Rumah Kebijaksanaan). Buku-buku bukan hanya dibakar, tapi juga dibuang ke Sungai Tigris. Saking banyaknya buku yang dibuang, kabarnya air Sungai Tigris pun berubah hitam oleh tinta.

Jadi dalam hal buku, air bukanlah musuh api. Dalam sejarah peradaban manusia, api dan buku sama-sama pernah tercatat dan dicatat sebagai mesin penghancur buku.

Fernando Baez menyebut secara khusus peranan api sebagai musuh abadi buku ini. Dia melacak tradisi-tradisi panjang dari berbagai agama yang menempatkan api sebagai salah satu medium penyucian dari kekotoran jiwa.

Shinta harus melewati unggunan api untuk membuktikan kesetiaan dan kesuciaannya pada Rama setelah diculik oleh Rahwana. Dalam Islam, neraka adalah tempat penyucian yang membakar jiwa-jiwa penuh dosa. Ada yang selamanya akan terpanggang di neraka, tapi ada yang akhirnya akan masuk surga tetapi harus melewati fase penyucian dosa lebih dulu di neraka.

Tapi air juga demikian, bukan? Tak terhitung ritus-ritus yang menggunakan medium air sebagai bagian penting upacara-upacara penyucian jiwa. Sangat biasa kita lihat orang yang kesurupan diciprati air-air yang sudah di-doa-i lebih dulu.

Saya teringat itu semua saat membaca berita tentang terbakarnya salah satu gedung di lingkungan FISIP UI. Tentu saja terbakarnya buku di UI itu tidak sama dengan pembakaran buku yang dilakukan oleh para pemarah yang sebenarnya berpendidikan. Tapi berita itu menegaskan sekali lagi betapa api memang musuh abadi dari buku.

Saya tidak bisa membayangkan perasaan Iwan Gardono Sujatmiko, sosiolog yang disebutkan oleh Dekan FISIP UI sebagai pemilik 3 ribu buku yang terbakar itu. Ph.D dari Harvard dalam bidang sosiologi politik itu pasti akan sangat kehilangan harta karun terbesarnya itu.

Teman saya, Anton Kurnia, seorang penulis dan penerjemah yang gigih, pernah mengalami seperti yang menimpa Iwan Gardono Sujatmiko. Di awal 2003, tempat kontrakannya terbakar musnah. Semua buku, dokumen, kliping-kliping, dan file-file yang tersimpan di komputer musnah dilalap kobaran api. Saat kejadian, Anton sedang berada di Jakarta dan dia mengaku saat itu hanya membawa 2 buku dan sebuah kamus bahasa Inggris.

"Rasanya seperti orang patah hati. Kehilangan yang sangat besar. Sampai sekarang kalau ingat itu rasanya masih nyesek," kenang Anton.

Buku-buku yang sulit didapat jelas menjadi persoalan untuk mendapatkannya lagi. Tapi ini bukan sekadar aktivitas mengumpulkan kembali buku-buku. Karena yang musnah bukan hanya kertas-kertas dan benda-benda bernama buku, tapi juga ingatan dan kenangan serta segala catatan personal yang tak ternilai harganya.

Anton mengaku butuh waktu lama untuk memulihkan semangat mengumpulkan buku. Baru setelah menikah dengan Atta Verin, juga seorang penerjemah, dan mendiami rumah yang baru, semangat untuk kembali membeli dan mengumpulkan buku mulai muncul lagi.

Tapi Anton mengaku tidak sulit untuk menulis. Duka karena kehilangan buku-buku justru disembuhkan dengan menulis. Di malam itu juga, setelah kembali ke Bandung dan menyaksikan puing-puing koleksi bukunya, dia menyepi di sebuah tempat dan menghibur diri dengan menulis sebuah esai tentang komik-komik Jan Mintaraga.

Di sini, dalam kisah Anton ini, tampak perlawanan yang hebat terhadap keganasan api: menulis lagi dan lagi, akhirnya akan melahirkan buku-buku yang baru, kata-kata yang baru, kisah-kisah yang baru.