Rabu, 08 Januari 2014

BUKU

Kata-kata hanyalah api yang dilukiskan, yang terlihat justru api itu sendiri. (Mark Twain, "A Connecticut Yankee in King Arthur's Court")

Kabar buruk pagi ini: kebakaran di Gedung C FISIP UI juga memusnahkan sekitar 3 ribu koleksi buku.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Arie Susilo, Dekan FISIP Universitas Indonesia: "Bagi kami dari kalangan akademisi, yang paling kami sayangkan adalah koleksi 3000 buku yang merupakan koleksi dari Iwan Gardono Sujatmiko (Sosiolog UI). Harganya tak ternilai."

Ini kabar buruk kedua bagi para pecinta buku. Pada 5 Januari, sebuah perpustakaan di Beirut (Lebanon) yang penuh dengan buku-buku bersejarah dibakar sampai musnah. 78 ribu buku dibikin musnah menjadi abu oleh para pemarah yang terbakar emosinya karena mendengar kabar ada sebuah pamflet yang menghina Nabi Muhammad terselip di salah satu buku koleksi perpustakaan.

Tapi apa boleh bikin? Siapa yang bisa melawan api jika sudah mengamuk? Api memang musuh abadi buku. Bersama rayap dan kutu, api sudah terbukti menjadi pemusnah buku yang paling efektif dalam sejarah peradaban manusia.

Api yang dinyalakan para biblioklas sudah menghancurkan jutaan buku dengan berbagai bentuknya. Dalam istilahnya Fernando Beaz, kaum biblioklas sebenarnya adalah orang-orang yang cerdas, berbudaya dan berpendidikan. Hanya saja selain berpendidikan, tulis Baez dalm buku "Penghancuran Buku dari Masa ke Masa", mereka juga orang yang "cenderung depresif, tidak mampu menolerir kritik, egois, mitomania, dan cenderung dalam lembaga yang mewakili kekuatan yang berkuasa dengan fanatisme berlebihan pada agama atau paham tertentu".

Air memang bisa menghentikan api. Tapi air adalah musuh buku lainnya lagi. Jika buku-buku sudah bersentuhan dengan air, kehancurannya hanya tinggal menunggu waktu.

Dan air memang pernah menjadi mesin penghancur buku yang mengerikan. Saat pasukan Mongol merebut Baghdad, mereka tak hanya menghancurkan kota, tapi juga memusnahkan perpustakaan agung Bait al Hikmah (Rumah Kebijaksanaan). Buku-buku bukan hanya dibakar, tapi juga dibuang ke Sungai Tigris. Saking banyaknya buku yang dibuang, kabarnya air Sungai Tigris pun berubah hitam oleh tinta.

Jadi dalam hal buku, air bukanlah musuh api. Dalam sejarah peradaban manusia, api dan buku sama-sama pernah tercatat dan dicatat sebagai mesin penghancur buku.

Fernando Baez menyebut secara khusus peranan api sebagai musuh abadi buku ini. Dia melacak tradisi-tradisi panjang dari berbagai agama yang menempatkan api sebagai salah satu medium penyucian dari kekotoran jiwa.

Shinta harus melewati unggunan api untuk membuktikan kesetiaan dan kesuciaannya pada Rama setelah diculik oleh Rahwana. Dalam Islam, neraka adalah tempat penyucian yang membakar jiwa-jiwa penuh dosa. Ada yang selamanya akan terpanggang di neraka, tapi ada yang akhirnya akan masuk surga tetapi harus melewati fase penyucian dosa lebih dulu di neraka.

Tapi air juga demikian, bukan? Tak terhitung ritus-ritus yang menggunakan medium air sebagai bagian penting upacara-upacara penyucian jiwa. Sangat biasa kita lihat orang yang kesurupan diciprati air-air yang sudah di-doa-i lebih dulu.

Saya teringat itu semua saat membaca berita tentang terbakarnya salah satu gedung di lingkungan FISIP UI. Tentu saja terbakarnya buku di UI itu tidak sama dengan pembakaran buku yang dilakukan oleh para pemarah yang sebenarnya berpendidikan. Tapi berita itu menegaskan sekali lagi betapa api memang musuh abadi dari buku.

Saya tidak bisa membayangkan perasaan Iwan Gardono Sujatmiko, sosiolog yang disebutkan oleh Dekan FISIP UI sebagai pemilik 3 ribu buku yang terbakar itu. Ph.D dari Harvard dalam bidang sosiologi politik itu pasti akan sangat kehilangan harta karun terbesarnya itu.

Teman saya, Anton Kurnia, seorang penulis dan penerjemah yang gigih, pernah mengalami seperti yang menimpa Iwan Gardono Sujatmiko. Di awal 2003, tempat kontrakannya terbakar musnah. Semua buku, dokumen, kliping-kliping, dan file-file yang tersimpan di komputer musnah dilalap kobaran api. Saat kejadian, Anton sedang berada di Jakarta dan dia mengaku saat itu hanya membawa 2 buku dan sebuah kamus bahasa Inggris.

"Rasanya seperti orang patah hati. Kehilangan yang sangat besar. Sampai sekarang kalau ingat itu rasanya masih nyesek," kenang Anton.

Buku-buku yang sulit didapat jelas menjadi persoalan untuk mendapatkannya lagi. Tapi ini bukan sekadar aktivitas mengumpulkan kembali buku-buku. Karena yang musnah bukan hanya kertas-kertas dan benda-benda bernama buku, tapi juga ingatan dan kenangan serta segala catatan personal yang tak ternilai harganya.

Anton mengaku butuh waktu lama untuk memulihkan semangat mengumpulkan buku. Baru setelah menikah dengan Atta Verin, juga seorang penerjemah, dan mendiami rumah yang baru, semangat untuk kembali membeli dan mengumpulkan buku mulai muncul lagi.

Tapi Anton mengaku tidak sulit untuk menulis. Duka karena kehilangan buku-buku justru disembuhkan dengan menulis. Di malam itu juga, setelah kembali ke Bandung dan menyaksikan puing-puing koleksi bukunya, dia menyepi di sebuah tempat dan menghibur diri dengan menulis sebuah esai tentang komik-komik Jan Mintaraga.

Di sini, dalam kisah Anton ini, tampak perlawanan yang hebat terhadap keganasan api: menulis lagi dan lagi, akhirnya akan melahirkan buku-buku yang baru, kata-kata yang baru, kisah-kisah yang baru.